Senin, 26 Januari 2009

Suatu Ekpedisi Menulusuri “Pagar” Nusantara...


Masih ingatkah anda kasus perairan Ambalat?masih ingatkah kasus pulau Sipadan dan Ligitan yang berpindah tangan? Mengingat hal itu memang sangat menyakitkan, dimana kedaulatan negara kita diobok-obok oleh bangsa lain.


Indonesia merupakan negara kepulauan dengan wilayah lautnya yang luas dan memiliki 17.504 pulau yang tersebar di dalamnya. Hal ini telah tercantum dalam Deklarasi Djuanda yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.

Ironisnya dengan wilayah maritim yang begitu luas, tidak ada perhatian dari pemerintah untuk menjaga kekayaan bahari tersebut. Harusnya negara kepulauan seperti Indonesia dimana terdapat pulau-pulau terluar yang merupakan pagar kedaulatan negara, dijaga dan dipercantik. Terdapat sebuah analogi, dimana jika sebuah bangunan rumah yang terdiri dari beberapa sisi, bagian manakah yang biasanya dipercantik agar orang bisa menilainya dari luar. Jawabanya adalah bagian depan. Begitu juga dengan sebuah negara, seharusnya bagian terluar yang berbatasan dengan negara lain dibangun dan dipercantik sebagai representasi negara indonesia secara komprehensif.

Atas dasar keinginan itu, maka timbulah suatu gagasan dari organisasi penjelajah gunung dan hutan Wanadri untuk melintasi batas-batas kepulauan Indonesia dengan merujuk pada Deklarasi Djuanda.

Garis Depan Nusantara, suatu ekpedisi pulau-pulau terdepan Indonesia dimana kegiatan tersebut bertujuan untuk membangun kembali kesadaran masyarakat pada kebudayaan kelautan yang selama ini terlalaikan serta membuka ruang informasi serta keterbukaan akan keberadaan 92 Pulau-Pulau Terdepan (terluar) Indonesia bagi masyarakat.

Kegiatan yang merupakan agenda dalam memperingati 1 abad Kebangkitan Nasional ini di dukung oleh instansi pemerintah dan swasta dan terbagi ke dalam tiga tahap yaitu, Ekspedisi Wilayah Barat Indonesia, Ekspedisi Wilayah Tengah Indonesia dan Ekspedisi Wilayah Timur Indonesia. untuk Ekpedisi Wilayah Barat Indonesia sendiri, telah berlangsung sejak 9 Mei 2008 sampai dengan 18 Agustus 2008. Perjalanannya menyusuri sepanjang sisi Barat Sumatra, Selat Malaka, Kepulauan Riau, Kepulauan Anambas dan Kepulauan Natuna tersebut dilakukan selama 100 hari dengan perjalanan sekitar 5364km.

Dalam perjalanannya menyusuri wilayah barat Indonesia ini terdapat 34 pulau yang telah dijelajahi tim ekspedisi. Pulau- pulau tersebut adalah P.Batu Kecil, P.Mega, P.Enggano, P.Sibaru-baru, P.Sinyau-nyau, P.Simuk, P. Wunga, P. Simeleu Cut, P. Salaut Besar, P. Raya, P. Rusa, P. Benggala, P. Rondo, P. Berhala, P.batu Mandi, P.Nongso, P.Nipah, P.Batu Barhanti, P.Pelampong, P.Karimun Kecil, P.Sentut, P.Iyu Kecil, P.Tokong Biru, P.Damar, P.Tokong Belayar, P.Tokong Nanas, P.Mangkai, P.Tokong Boro, P.Semiun, P.Sebentul, P.Sekantung, P. Senua, P.Subi, dan P.Kepala. Selain ke 34 pulau tersebut terdapat pula 6 pulau yang terletak di sisi selatan pulau Jawa yaitu P.deli, P. Manuk, P. Nusakambangan, P.Panehan, P.Sekel, dan Nusa Barung.

Selain menjelajah, tim ekspedisi pun melakukan pendataan penduduk setempat dan juga mencatat kehidupan dan budaya masyarakat yang tinggal di sana. Dan ternyata banyak dari pulau-pulau tersebut yang tidak berpenghuni tapi yang paling miris nya lagi, diantara pulau-pulau tersebut banyak yang di sewakan kepada negara asing. Kita sebagai generasi penerus bangsa hatus menyadari akan hal ini, kita harus menjaga aset kekayaan bangsa kita, jangan sampai kita diinjak-injak di negeri kita sendiri. Tanamkanlah idealisme kebangsaan sedini mungkin, karena dari sanalah kita mulai bergerak. Semoga kegiatan tim ekspedisi garis depan nusantara ini adalah suatu awal untuk menyelamatkan kepulauan Indonesia yang telah lama tersia-siakan ini, dan semoga tidak ada lagi kepulauan yang berpindah tangan kepada bangsa lain...

Komplitnya buka aja.. ..

Tentang Seorang Aktivis menuju gedung MPR-DPR


Jika belasan tahun yang lalu ia masuk dan menduduki gedung MPR-DPR dengan cara “paksa” menuntut perbahan karena orang-orang yang bekerja di sana sebagai pembuat Undang-undang tidak berpihak kepada rakyat. Maka sekarang ia mencoba masuk dan menuntut perbahan dengan cara yang bisa dianggap elegan.

Dialah Budiman Sudjatmiko, seorang pemuda pemberani yang sejak usia ke 26 nya sudah “dicap” sebagai musuh negara oleh Rezim Orde Baru, karena aktivitas politiknya. Seorang anak muda yang dilahirkan di Desa Pahonjean, Kecamatan Majenang, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah ini sudah melakukan pencarian dan pembentukan kesadaran politiknya sejak duduk di bangku SMP (sekolah menegah Pertama). Pada usia itu ia sudah menenggelamkan diri dalam dunia buku-buku.

Budiman yang akrab dipanggil Iko ini, terjun dalam dunia politik sejak berada di Yogyakarta, dimulai ketika mengenyam pendidikan di SMA (Sekolah Menengah Atas) 1 Muhamidiyah, kemudian menjadi mahasiswa di FE-UGM (Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada). Namun, pendidikan di bangku kuliah hanya dijalaninya selama dua semester. Budiman yang tercatat sebagai mahasiswa baru di FE UGM pada tahun 1989, lebih mencurahkan perhatian dan konsentrasinya pada dunia politik, dimana pada saat itu situasi Yogyakarta marak dengan aksi unjuk rasa.

Kegiatan politik Budiman saat itu, tidak hanya sebatas pada gelaran diskusi dan mobilisasi massa, tapi sudah sampai pada tahap integrasinya dengan rakyat. Proses penyatuan ini dimulai dengan adanya kasus penggusuran tanah petani Kedung Ombo. Kasus tersebut menjadi stimulus integrasi mahasiswa dengan rakyat. Terbukti setelah peristiwa itu terjadi sejumlah aksi solidaritas gerakan mahasiswa dari berbagai kota yang membentuk komite advokasi untuk para petani yang tergusur.

Sejak proses peletakan dasar perjuangan, dimana mahasiswa menjadi organisator dan fasilitator politik rakyat, Budiman menjadi bagian di dalamnya. Ia melatih kemampuan rakyat yang dibungkam oleh kediktatoran. Rakyat dilatih untuk memiliki keberanian berkampanye dan menekan pemerintah. Suatu konsep dasar pejuangan yang memerlukan gagasan yang matang dan interaksi lapangan. Sehingga, mengharuskan Budiman berada ditengah-tengah rakyat kecil, melihat dan merasakan apa yang mereka alami sehari-hari.

Tidak hanya itu, meski baru satu tahun menapaki keterlibatan dalam gerakan mahasiswa, Budiman dipercaya untuk memberikan pendidikan politik bagi rekan-rekan aktivis mahasiswa. Ia dikenal ungul dalam kajian ekonomi-politik dan strategi gerakan rakyat.

Hasil konkret interaksi Budiman dengan dunia politiknya adalah ketika ia terpilih menjadi ketua PRD (Partai Rakyat Demokratik) tidak lama setelah meletusnya peristiwa 27 Juli 1996. Selepas peristiwa kerusuhan itu, PRD “dicap” komunis dan otomotis seluruh orang di dalamnya termasuk Budiman diburu pemerintah. Tidak tanggug-tanggung, perintah tembak ditempat dikeluarkan oleh Pangdam Jaya, yang pada saat itu dijabat oleh Mayjen Sutiyoso.

Manifesto politik PRD, dimana salah satu isinya berbunyi pergantian Rezim Orde Baru merupakan penyebab kenapa mereka diburu. Tapi toh, yang masyarakat tahu alasanya adalah komunis. Sebuah stigma yang dibingkai untuk dijadikan sebuah legalitas penangkapan.

Setelah kurang lebih 15 hari menjadi buruan pemerintah, dan menjalankan aktivitas politiknya secara terselubung, berpindah dari satu rumah ke rumah lainnya, akhirnya pada tanggal 11 Agustus 1996 Budiman bersama tiga orang temannya tertangkap di sebuah rumah di Bekasi.

Enam bulan menjalani pemeriksaan, akhirnya Budiman dijatuhi vonis 13 tahun penjara oleh pengadilan tinggi Jakarta Pusat. Dan, pada masa pemerintahan Gusdur ia dibebaskan tepatnya tanggal 10 Desember 1999.

Setelah bebas dari penjara, Budiman kembali ke partainya dan menuntun PRD ke pemilu 1999, meski tidak mendapatkan kursi. Sekarang Budiman menjadi salah satu calon anggota legislative dari salah satu partai yang lolos verifikasi KPU untuk pemilu 2009.

Diambil dari cuplikan acara di salah satu stasiun televise swasta dimana ia mengatakan bahwa dengan pencalonannya sebagai anggota legislative, terdapat perubahan cara perjuangan. Jika dulu ia hanya bisa melakukan aksi unjukrasa atau menulis opini di media massa untuk mengkritisi pemerintah, tapi sekarang ia berada didalamnya dan bisa memperjuangkan kepentingan rakyat dengan kebijakan-kebijakan yang memihak kepada rakyat.

Mari kita lihat apakah ketika menjadi anggota legislative yang diperjuangkan selaras dengan apa yang dia ucapkan, atau hanya sebatas janji-janji klise. Seperti perubahan idealisme teman seperjuangan Soe Hok Gie ketika sudah berada di kursi pemerintahan…

Komplitnya buka aja.. ..

Imperialime + Kapitalesme = UU BHP

Apa yang Bung Karno dengungkan tentang penolakan terhadap imperialisme dan kapitalisme, tampaknya sudah tidak didengar lagi oleh pemimpin bangsa kita sekarang ini. Sehingga baik imperialisme maupun kapitalisme tidak hanya merasuk pada sendi-sendi sistem penyelenggaraan Negara, tetapi sudah menjangkit pada dunia pendidikan.

Penyetujuan UU BHP (badan hukum pendidikan) menandakan paradigma pendidikan sekarang telah bergeser, yang melahirkan sejumlah proses pemikiran pendidikan yang salah satunya proses dekarakterisasi yang bersumber pada pengaruh hegemonik sistem ekonomi liberal kapitalistik, berupa konstruksi sistem pendidikan yang lebih menekankan tujuan keuntungan.

Hal ini tidak terlepas dari terlibatnya negara kita pada sistem ekonomi global, dimana intinya pendidikan dianggap sebagai sebuah jasa yang bisa diperdagangkan atau diperjualbelikan seperti halnya kesehatan dan pelayanan air bersih. Maka tidak heran apabila sekarang banyak lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang orientasinya hanya pada keuntungan. Orientasi yang seharusnya pada kualitas pendidikan yang akhir tujuannya adalah mencerdaskan bangsa.

Orientasi pada keuntungan dengan dalih agar kegiatan pendidikan bisa tetap berjalan dilakukan oleh sejumlah lembaga pendidikan tinggi kita sekarang dengan berbagai cara, dan itupun tidak hanya melanda lembaga pendidikan tinggi yang statusnya swasta tetapi juga lembaga pendidikan tinggi yang bersatus negri.

Sebenarnya kapitalisme dalam dunia pendidikan telah berlangsung dari beberapa tahun yang lalu. Dibukanya berbagai jalur penerimaan mahasiswa baru di luar jalur resmi (mengedapankan kemampuan) oleh sejumlah lembaga pendidikan tinggi menjadi sebuah fenomena sekaligus bukti dan dampak dari orientasi pendidikan pada keuntungan. Bisa kita lihat contohnya, ITB (Institute Tekhnologi Bandung) dengan ujian saringan masuknya (USM-ITB), UGM (Universitas Gadjah Mada) dengan ujian masuknya (UM-UGM), dan tidak ketinggalan Unpad (Universitas Padjadjaran) yang lebih mempublikasikan dan mempromosikan dengan nama Seleksi Masuk Universitas Padjadjaran (SMUP). Jalur-jalur penerimaan tersebut, tentu dengan biaya yang bervariasi. Dana yang harus dikeluarkan pun sudah terpampang jelas di media massa (cetak dan online). Bahkan ada fenomena yang cukup menggelitik dimana sebagian besar fakultas berubah menjadi fakultas peternakan yaitu peternakan mahasiswa, yang menggambarkan tidak seimbangnya jumlah mahasiswa yang ditampung dengan dosen dan fasilitas yang ada. Dan tentunya demi harapan income yang lebih besar

Selain dengan membuka jalur masuk di luar jalur resmi, sejumlah lembaga pendidikan tinggi yang ada dikita sekarang, demi keuntungan, melebarkan sayapnya dengan cara mebuka kelas jauh, mungkin jauh dari segala-galanya. Ada yang di Papua, bahkan di Batam, untuk menjaring mahsiswa yang berasal dari negri Jiran. Dengan bangunan mrirp Ruko perkuliahan bisa berjalan walaupun dengan kegiatan yang jauh dari yang semestinya, tanpa fasilitas yang memadai sehingga kegiatan perkuliahan sangat tidak efektif.

Sepertinya pemerintah sudah tidak menjadikan UUD 1945 sebagai sebuah tuntunan hidup bernegara. sehingga visi dan misinya berlawanan dengan cita-cita bangsa kita yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kita tahu bahwa kebodohan sangat erat kaitannya dan berbanding lurus dengan kemiskinan, secara kasarnya bangsa yang miskin diakibatkan oleh masyarakatnya yang bodoh.

Dengan adanya UU BHP yang tidak lain merupakan sebuah legitimasi untuk penyelenggaraan pendidikan yang sangat tidak berpihak pada rakyat. Kita bisa menilai kedepan bangsa kita akan seperti apa…

Komplitnya buka aja.. ..

Bahaya Mengancam Bagunan Tua di Bandung


Perkembangan zaman adalah suatu hal yang tidak dapat dihindari, akan tetapi kehilangan identitas kota merupakan hal yang dapat dihindari. Semua warga Bandung tentunya tidak ingin kehilangan identitas kotanya, seperti bangunan-bangunan tua. Banyak bangunan tua di Bandung yang berserakan di pelosok kota, sayangnya sebagian tidak terurus. Sebagian bangunan-bangunan ini terancam hilang dengan makin rakusnya para pengusaha mencaplok tanah kosong ditambah lagi kekurangpedulian warga dan pemerintah kota dalam melindungi aset kotanya. Saat ini banyak bangunan tua yang sudah hilang dan berganti menjadi factory outlet (FO) atau mall.


Sudarsono Katam, seorang pencinta sejarah dan bangunan tua Bandung bertutur bahwa banyak keputusan pemerintah yang tidak berpihak pada pelestarian bangunan tua. Harastoeti juga berpendapat bahwa selama kepentingan pelestarian dibenturkan dengan kepentingan uang, maka kepentingan pelestarian akan kalah.
”Dulu di daerah Riau (Jl. R.E. Martadinata.) terdapat sebuah bangunan yang merupakan Taman kanak-Kanak pertama di Bandung. Sekarang sudah tidak ada, ganti menjadi FO,” ujar Katam.
Dadan Nugraha, Sekretaris Bandung Heritage mengatakan bahwa sangat disayangkan banyak bangunan bersejarah yang sudah hilang. “Seperti Gedung Singer di Simpang Lima, lalu di Braga juga ada bangunan bekas bengkel Mercy pertama di Indonesia yang sekarang sudah tidak ada, berubah menjadi Braga City Walk.”
Ditambahkan Dadan, “Semua bangunan yang sudah tidak ada sangat disayangkan oleh kami, padahal itu memiliki nilai sejarah penting. Bangunan Vila Ciumbuleuit misalnya, dahulu merupakan tempat menginap sebagian dari delegasi KAA.”
Dadan mengatakan bahwa kesadaran pemerintah kota terhadap pelestarian bangunan tua sudah ada, tapi belum merata. ”Pemerintah sebenarnya sadar akan pentingnya pelestarian bangunan tua, akan tetapi tidak semua. Ditambah lagi penegakan hukum, yang kita semua sudah tahu kaya gimana, “ urai Dadan.
Pelestarian bangunan tua sepertinya selalu bertentangan dengan kepentingan ekonomi. Sulit sekali mencari titik temu diantara keduanya. Katam melihat masalah ini akibat tidak adanya saling pengertian diantara para pecinta bangunan tua, pengusaha, dan pemerintah. Pengusaha hanya memikirkan aspek ekonomi, sedangkan pecinta bangunan tua berpikiran bahwa bangunan-bangunan itu harus dilestarikan dan dirawat, pihak pemerintah berpikiran bahwa selama izin lengkap semua bisa berjalan.
Lain lagi pendapat Harastoeti, ia mengatakan bahwa selama ini pemerintah tidak pernah mengatur Kota Bandung. Pemerintah hanya mengejar PAD, sehingga mengizinkan pendirian mal, kafe, dan toko dimana saja.
“Tidak ada tempat khusus untuk bangunan perumahan mewah, bangunan perumahan menengah, dan sebagainya. Semua wilayah campuran yang bisa dibangun apa saja. Jadi kalau tidak pernah diatur, apa yang dilanggar?” urai Toeti.
Peraturan yang ada pun dianggap belum efektif akibat adanya perbenturan kepentingan dari masing-masing pihak dan penegakan hukum yang tidak tegas. Padahal, pemerintah telah membuat UU no. 5 tahun 1992 tentang benda cagar budaya.
Banyak hal yang membuat undang-undang itu hanya menjadi macan kertas. Undang-undang ini menyebutkan bahwa semua orang yang memiliki bangunan cagar budaya agar melaporkan kepada pemerintah. Sayangnya, pemerintah tidak menyediakan lembaga khusus untuk mencatat benda-benda cagar budaya tersebut.
“Orang-orang yang mau melaporkan benda yang dimilikinya jadi bingung. Harusnya pemerintah membuat badan khusus untuk pencatatan itu,” jelas Dadan.
Selain hal tersebut, tidak adanya perda khusus di Bandung yang mengatur masalah pelestarian bangunan tua, dituding sebagai salah satu sebab tidak efektifnya UU no. 5 tahun 1992 tentang benda cagar budaya.
Sudarsono Katam berpendapat bahwa pemerintah harusnya memberikan insentif khusus bagi mereka yang memiliki bangunan tua. “Untuk kondisi sekarang, merawat rumah berapa biayanya? Mahal.”
Sebagai gambaran, kita bisa simak pengakuan Tatang Sutarsa (55), pemilik rumah di Jl.Terate no.1. Menurut dia untuk mengecat sebuah jendela dibutuhkan cat sebanyak satu kilogram.
Toeti mengatakan bahwa pemberian bantuan tidak harus melalui pemerintah, tapi swasta juga bisa diajak. Misalnya pemerintah menggandeng perusahaan cat untuk membantu dalam pemberian cat gratis kepada pemilik rumah tua.
“Cat tersebut nantinya bisa digunakan untuk mengecat dinding rumah agar tidak terlihat kusam,” usul Toeti.
Melihat kondisi tersebut, maka tidak heran banyak orang yang membiarkan bangunan tua yang mereka miliki lapuk termakan usia dan rubuh. Hal ini lebih memudahkan mereka untuk membangun bangunan baru yang lebih menguntungkan atau menjual tanahnya.
Bagi sebagian besar masyarakat, merawat bangunan tua hanya membuang-buang uang. Mereka tidak melihat itu sebagai suatu yang menguntungkan, karena tidak adanya bantuan dari pemerintah untuk merawatnya.
Ndang Ramdan (77), pemilik rumah di Jl. Gatot Soebroto Pav.54, bercerita bahwa tidak pernah ada pihak pemerintah yang datang untuk mendata dan membantu perawatan.
Melihat kenyataan tersebut, masyarakat peduli bangunan tua, melalui Bandung Heritage, mengusulkan pembuatan perda tentang pelestarian bangunan tua ke pemerintah kota. Usul ini disambut oleh pihak pemerintah kota, dalam hal ini Dinas Pariwisata.
Mulai tahun 2006 ini pihak Dinas Pariwisata dan Bandung Heritage tengah menggodok peraturan daerah yang akan melindungi bangunan tua yang ada. Iyan Suryana, Kepala Seksi Kerjasama Pengembangan Seni Budaya Dinas Pariwisata Bandung, menjelaskan bahwa selama ini mereka terkendala masalah dana dalam pembuatan perda tentang pelestarian bangunan tua.
Menurut pria berusia 41 tahun ini, selama ini pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa jika terjadi kasus mengenai bangunan tua, karena tidak ada aturannya.
“Termasuk mereka yang menjual bangunannya, merubah bentuknya, dan merubuhkan untuk dijadikan usaha. Itu hak mereka, karena mereka sebagai pemilik. Diharapkan adanya perda akan membuat suatu batas jelas tentang bangunan yang termasuk benda cagar budaya,” jelas Iyan. Ditambahkan olehnya bahwa jika sudah ada batas yang jelas, pemerintah bisa bertindak tegas.
Dirinya juga mengakui bahwa pihak Dinas Pariwisata tidak pernah diminta rekomendasinya jika ada permohonan izin ke pemerintah kota. Ia tidak tahu menahu masalah perizinan.
“Kalau perizinan, biasanya Bandung Heritage yang dimintai rekomendasinya, kami tidak pernah dimintai rekomendasi,” urai Iyan.
Sudarsono Katam melihat bahwa pemerintah, pelaku ekonomi, dan pencinta bangunan tua perlu duduk bersama dalam satu meja untuk menyamakan persepsi.
“Selama ini mereka cenderung jalan sendiri-sendiri dan keukeuh dengan kepentingan masing-masing,” demikian Katam.
Katam juga menjelaskan bahwa aturan yang ada tentang bangunan tua mengandung beberapa kelemahan, seperti tentang bangunan yang dibiarkan rubuh sendiri, “Seandainya ada bangunan rubuh karena dibiarkan, kita bisa berbuat apa? Tidak mungkin bangunan itu berdiri lagi.”
Dadan Nugraha percaya bahwa suatu bangunan tua perlu dilestarikan karena itu merupakan identitas Kota Bandung dan merupakan kebanggaan warga Kota Bandung.
“Sekarang coba bayangkan seandainya Gedung Sate, Gedung Merdeka, atau Villa Isola dibongkar. Bandung tidak punya identitas lagi. Bangunan-bangunan tersebut hanya terdapat di Bandung, nantinya anak cucu kita hanya bisa menikmati keindahannya lewat foto dan cerita,” urai Dadan.
Harastoeti juga menyatakan bahwa pernah ada peneliti arsitektur dari luar yang mengatakan bahwa Bandung bisa disebut sebagai laboratorium arsitektur. Menurut Toeti, hal ini dikarenakan banyaknya bangunan dengan gaya arsitektur yang cukup unik. Gaya arsitektur yang unik ini bukan hanya dari satu gaya saja, tapi juga dari bermacam gaya. Ada art deco, ada empire style.
Senada dengan Dadan, Toeti juga mengatakan bahwa pelestarian bangunan tua merupakan hal yag penting. Hal ini merupakan sebuah upaya untuk mempertahankan identitas kota. Selain mempertahankan identitas kota, Toeti menambahkan bahwa pelestarian bangunan juga mencakup pelestarian lingkungan disekitar bangunan. Dengan demikian, melestarikan bangunan tua juga berarti melestarikan lingkungan sekitar.
Sangat disayangkan jika suatu hari nanti Bandung kehilangan bangunan-bangunan tuanya. Apalagi pada tahun 2001 Bandung ditempatkan oleh Majalah Asiaweek pada posisi 26 dari 40 Asia’s Best Cities serta posisi 9 dari 10 World’s Great Cities of Art Deco.

Komplitnya buka aja.. ..

Bangunan Tua yang menjadi Saksi Sejarah Kota Bandung

Bandung - Konon, Bandung adalah kota urutan ke 9 di dunia yang memiliki arsitektur bangunan art deco yang artistik. sejarah sebuah kota tidak hanya bisa ditelusuri dari perjuangan masyarakatnya. Selain melalui kondisi geologi, masih banyak saksi bisu lainnya yang bisa menceritakan perjalanan masa lalu sebuah kota, terutama ketika kota tersebut memasuki masa jaya. Kota Bandung sebenarnya termasuk salah satu kota di Indonesia yang paling beruntung karena masih memiliki salah satu saksi sejarah masa lalunya yang bisa dibaca lewat bangunan-bangunan tua dengan berbagai langgam arsitekturnya. Melalui salah satu kekayaan itu, setiap orang bisa menelusuri perjalanan sejarah kota dan masyarakat Bandung, tergantung dari kepentingannya. Dari segi arsitektur, Bandung pernah dijuluki sebagai laboratorium arsitektur paling lengkap karena memiliki begitu banyak kekayaan arsitektur yang hingga kini menjadi sumber inspirasi dan bahan penelitian yang tak habis-habisnya untuk digali


Daerah yang selama ini dijuluki Bumi Parahyangan untuk mengeksploitir sumber daya alam dan manusianya. Dataran Tinggi Priangan dijadikan salah satu wilayah perkebunan sejak tahun 1870 dengan pusat dan sekaligus tempat tinggal mereka di Kota Bandung. Cikal bakal pembukaan areal perkebunan tersebut masih bisa disaksikan lewat bangunan tua yang kini dijadikan pusat pemerintahan Kota Bandung. Gedung tersebut dibangun tahun 1819 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van Der Cappelen atas usul Dr De Wilde yang saat itu jadi Asisten Residen Priangan (Balai Kajian Jarahnitra, 1998). Bangunan tersebut sebelumnya merupakan gudang tempat menyimpan kopi. Karena bentuk atapnya datar, masyarakat menjuluki gedung tersebut gedong papak. Papak artinya datar. Akan tetapi, jika ditilik dari usianya, umur bangunan pendopo Kabupatan Bandung jauh lebih tua. Bangunan yang merupakan tempat tinggal bupati-bupati Bandung dan kini dijadikan tempat kediaman resmi Wali Kota Bandung itu didirikan Bupati RAA Wiranatakusumah II pada tahun 1810. Saat itu bertepatan dengan kepindahan ibu kota kabupaten dari Krapyak ke Kota Bandung. MASA keemasan pembangunan fisik Kota Bandung ditandai dengan maraknya pembangunan gedung-gedung modern sejak akhir abad ke-19. Masa itu ditandai dengan dipindahkannya ibu kota Priangan dari Cianjur ke Bandung pada tahun 1864. Namun, dampak positif kemajuan sosial-ekonomi kota ini barulah memperlihatkan perkembangan yang luar biasa sejak direncanakan sebagai ibu kota Hindia Belanda, menggantikan Batavia yang sanitasinya dinilai kurang mendukung. Usul pemindahan ibu kota tersebut disampaikan HF Tillema (1916) dan disetujui Gubernur Jenderal Limburg Van Stirum. Rencana boyong pusat-pusat kegiatan pemerintahan itu bukan hanya bisa disaksikan melalui berbagai instansi dan BUMN tingkat pusat yang hingga kini tetap bertahan di Bandung. Namun, bersamaan dengan rencana tersebut dibangun pula gedung-gedungnya, baik untuk perkantoran maupun tempat tinggal. Dari segi arsitektur, era ini ditandai dengan ditinggalkannya langgam arsitektur Indische Empire Stijl sebagai bentuk bangunan yang paling hebat pada masa sebelumnya. Salah satu bangunan dengan langgam gaya arsitektur tersebut bisa disaksikan lewat Gedung Pakuan yang kini dijadikan tempat kediaman resmi Gubernur Jawa Barat (Jabar) di Jalan Oto Iskandar Dinata dan Markas Kepolisian Wilayah Kota Besar (Polwiltabes) Bandung di Jalan Merdeka. Selain pernah dijadikan tempat kediaman Residen Priangan dan Gubernur Jabar, Gedung Pakuan pernah menjadi tempat kediaman resmi Wali Negara Pasundan tatkala Provinsi Jawa Barat menjadi negara Pasundan. Nama Gedung Pakuan diusulkan Dalem Istri RAA Wiranatakusumah V. Sebagai sebuah daerah yang mulai berkembang jadi kota, Kota Bandung mengalami penataan yang lebih komprehensif sejak tahun 1920-an. Ditandai dengan pembangunan gedung-gedung yang dilakukan bersamaan dengan rencana pemindahan ibu kota telah mengundang perhatian para perancang kota dan bangunan. Salah seorang di antaranya perancang terkemuka, Ir Thomas Karsten, yang merancang Bandung sehingga gagasannya kemudian dikenal dengan “Plan Karsten”. Dalam mengantisipasi perkembangan kota ia mengusulkan gagasan perluasan wilayah kota untuk 25 tahun ke depan dari semula 2.835 ha (1930) menjadi 12.758 ha yang diperuntukkan 750.000 penduduknya. Gagasan ini diperlukan untuk tetap mempertahankan Bandung sebagai Kota Taman yang membutuhkann ruang terbuka yang cukup luas. SELAIN dikenal sebagai Kota Taman yang kemudian melahirkan berbagai sanjungan karena kecantikannya, di bidang arsitektur, Kota Bandung mewariskan kekayaan berbagai langgam arsitektur. Lewat bangunan-bangunan tua Gedung Sate yang hingga kini tetap menjadi landmark Kota Bandung, kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) yang berusaha memadukan gaya arsitektur modern dan tradisional, kota ini masih menyimpan kekayaan gaya arsitektur art deco. Seni kebangkitan art deco di Kota Bandung mencapai puncaknya pada tahun 1920-an. Salah satu di antaranya adalah Gedung Bumi Siliwangi yang kini dijadikan Kantor Rektorat Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Gedung yang hampir menyerupai kapal laut itu merupakan karya perancang Prof Wolf P Schoemaker. Bangunan ini pada awalnya merupakan vila milik DW Barrety yang dipersembahkan untuk istrinya. Tahun 1964, gedung tersebut dibeli pemerintah dan kemudian digunakan untuk kegiatan penyelenggaraan pendidikan Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG), cikal bakal Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung. Langgam gaya arsitektur art deco yang tak kurang jumlahnya bisa dijumpai di sepanjang Jalan Braga, salah satu jalan paling bergengsi di Kota Bandung, di samping langgam gaya arsitektur lainnya. Maklum, pada saat itu di Bandung terdapat lebih dari 70 perancang bangunan. Bahkan, tak kurang dari Ir Soekarno, Presiden RI pertama, sempat memberi warna dan kekayaan arsitektur bangunan di kota ini. Bangunannya dicirikan dengan atap bertingkat dua dan bagian atasnya terdapat semacam gada. Sayang, sebagian bangunan-bangunan yang bisa menceritakan tentang sejarah kota, kebudayaan dan seni arsitektur tersebut mulai banyak diruntuhkan. Beberapa di antaranya memang ada yang berhasil diselamatkan berkat usaha gigih yang dilakukan para pengurus Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung (Bandung Heritage). Tetapi, sebagian lainnya sudah tidak jelas lagi karena sudah rata dengan tanah. Dengan kekuasaan rezim ekonomi, di atasnya sudah berdiri bangunan baru. Jadi, banyak yang mengkhawatirkan Bandung akan kehilangan salah satu identitas dan sekaligus kekayaan budayanya.

Komplitnya buka aja.. ..

Minggu, 25 Januari 2009

Menengok Bung Karno Melalui Sebuah Gedung


Sebuah tempat dimana sejarah tidak dimanipulasi tetapi dipelihara.

Di dalam ruangan, sebuah diskusi sastra diselenggarakan, dan di samping kiri bangunan orang-orang sedang serius berdiskusi sambil menikmati secangkir kopi dengan mie rebusnya. Selain itu ada juga yang hanya sebatas bercengkrama atau membaca koran untuk mengisi waktu luangnya. Rutinitas seperti Inilah yang tampak pada sebuah bangunan yang dulunya merupakan pengadilan pemerintahan kolonial Belanda di mana sang Proklamator pernah diadili.

Bangunan tersebut bernama Gedung Indonesia Menggugat yang diambil dari sebuah Pledoi Bung karno saat aktivitas politiknya harus dipertanggungjawabkan karena dianggap berbahaya dan mengancam pemerintahan kolonial Belanda.

Gedung ini dulunya merupakan tempat pengadilan pemerintah kolonial Belanda yang dikenal dengan nama Landraad. Sebuah pengadilan negeri yang pernah digunakan untuk mengadili founding father negara kita bersama 3 orang temannya yang merupakan pimpinan Partai Nasional Indonesia.

Sekarang bangunan yang letaknya di Jl. Perintis Kemerdekaan No. 5 tidak tampak seperti bekas sebuah pengadilan. Halaman yang rindang ditambah konsep arisitektur bangunan yang eksotis, merubah tempat yang anggapan orang menyeramkan menjadi sebuah tempat yang nyaman.

Bangunan yang direnovasi pada tahun 2005, kini digunakan sebagai ruang publik. Diskusi dan seminar sering diselenggarakan di sana bahkan secara rutin sebuah perkumpulan teater memanfaatkan bangunan tersebut untuk sekedar latihan atau bahkan pementasan. Memang sangat representatif di mana terdapat sebuah bangunan induk dan dua banguanan di sampingnya.
Jika kita masuk melaui ruang utama akan terlihat gaya arsitektur barat dimana terdapat pintu yang melengkung dengan kanopi dan hiasan dinding bangunan yang bergaya klasik. Memasuki lobi bangunan akan tampak foto-foto perjalanan Bung Karno yang dibingkai dengn Rapih, foto-foto dimana proklamator bangsa kita ketika muda hingga sampai pada meja hijau. Ternyata di dalam bangunan tersebut juga berfungsi sebagai museum. Meski telah direnovasi dan berubah fungsi, namun nilai historisnya tetap terasa. Hal ini bisa dilihat dari tata ruang bangunan, di mana di sebelah kanan lobi terdapat ruang pengadilan dengan ornamen-ornamen dan tata letak layaknya sebuah pengadilan, dan tentunya tidak difungsikan.

Menurut Hermana (40), Volentir Gedung indonesia Menggugat, bangunan ini difungsikan dengan 3 Azas yaitu Indonesia muda, Indonesia menggugat, dan Indonesia Merdeka. Dimana ke-tiganya memilki arti masing-masing yakni, Indonesia muda berarti bangunan ini dijalankan untuk kegiatan-kegiatan kepemudaan, yang dilakukan dengan semangat muda, seperti lahirnya sumpah pemuda. Indonesia Menggugat, dimana bangunan ini difungsikan untuk mengingatkan apa yang telah terjadi pada masa lalu, atau dengan kata lain berfungsi agar sebuah sejarah tidak terlupakan. Dan Indonesia Merdeka bermakna bahwa bangsa yang merdeka itu harus memiliki pemikiran yang merdeka dan visioner.”banguan ini sebagai pelestarian sejarah pada masa lalu sehingga dapat memupuk kesadaran tentang jati diri bangsa dan kepentingan nasional” ungkap ketua tim pemugaran Dibyo Hartono.

Jika sebuah museum identik dengan pengunjung yang sepi, tampaknya tidak berlaku dengan Gedung Indonesia Menggugat, hal ini bisa dilihat dari suasana yang ramai, meski waktu beranjak malam.

Seperti kata pepatah dimana bangsa yang arif adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya, dengan kondisi seperti di atas kita bisa menilai bangsa kita seperti apa.

Komplitnya buka aja.. ..

Perjuangan Soekarno dan Nasib Bangsa Kita


Sebuah pepatah mengatakan bahwa "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati Pahlawannya". Makna ungkapan tersebut memberikan pengertian kepada kita sebagai generasi penerus bangsa, agar memahami perjuangan bangsanya pada masa lalu sehingga kita dapat belajar dari pengalaman para pendahulu kita dalam usahanya melahirkan Negara Republik Indonesia.

Soekarno, salah seorang pejuang yang telah memberikan kontribusi besar kepada bangsa Indonesia ini. Ia tidak hanya seorang pahlawan melainkan juga seorang negarawan dan guru bangsa bagi Indonesia, baik dalam pemikiran maupun tindakan.

Orang yang dilahirkan dengan nama Kusno Sostrodiharjo ini adalah Presiden Indonesia pertama sekaligus Proklamator Kemerdekaan Indonesia. Anak dari pasangan Ida Ayu Nyoman Rai Sarimben dan Raden Soekemi Sosrodiharjo ini dilahirkan di kota Surabaya pada tanggal 6 Juni tahun 1901. Soekarno dilahirkan disaat fajar mulai menyingsing sehingga Soekemi menganggap anaknya sebagai “sang fajar” yang dilahirkan dalam abad Revolusi Kemanusiaan.

Pada tahun 1908, Soekarno menjalani Sekolah Dasarnya di HIS yang kemudian pindah ke Sekolah Eropa atau Europesche Lagere School (ELS) di kota Mojokerto pada tahun 1911, yang kemudian diselesaikan pada tahun 1916.

Memasuki usia 14 tahun, seorang teman bapaknya yang bernama Oemar Said Tjokroaminoto mengajaknya tinggal di Surabaya. Ayahnya sudah lama mengharapkan anak lelakinya itu tinggal di rumah temannya, yang merupakan seorang pemimpin politik Jawa yang sangat penting saat itu. Tjokroaminoto adalah seorang Nasionalis Indonesia dan seorang pimpinan Sarekat Islam. Seorang tokoh dengan cita-citanya yang tinggi dan sangat mencintai tanah airnya. Maka pada tahun 1916, Soekarno tinggal bersama teman ayahnya tersebut dan masuk sekolah Menengah atau Hogere Burgere school (HBS) di Surabaya.

Setelah menamatkan sekolahnya di HBS pada tahun 1921, putra bangsa ini melanjutkan sekolahnya di perguruan tinggi atau Technische Hooge School (THS) di Kota Bandung, yang kini kita kenal dengan nama ITB (Institut Teknik Bandung) dari tahun 1921-1926. Walaupun sebagian besar dari pendidikan yang Soekarno peroleh merupakan pendidikan barat akan tetapi orang tuanya tidak mengharapkan anaknya menjadi kebarat-baratan (Adam, 1966:42)

Sejarah Perjuangan Politik Soekarno

Tjokroaminoto yang seorang Nasionalis cukup mempengaruhi perhatian Soekarno terhadap perjuangan politik bangsa Indonesia. Dari sanalah Soekarno mulai berkenalan dengan paham Nasionalisme Indonesia yang telah berkembang di Indonesia sejak Boedi Oetomo.

Kesadaran Nasionalnya semakin tampak dengan bergabungnya ia dalam organisasi kaum muda. Saat di Bandung, Soekarno berinteraksi dengan Tjipto Mangunkusum dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij, sebuah organisasi yang pertama kali berani menuntut kemerdekaan Indonesia. Akhirnya setelah ia lulus dari THS pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene studie Club di Bandung. Organisasi ini menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia yang didirikannya pada tanggal 4 Juli 1927 bersama teman-temannya Mr.Iskaq, Dr.Tjipto, M.Boediardjo dan Mr.Soenarjo.

Dalam kegiatan politiknya di PNI, Soekarno banyak mendapat intervensi dari Pemerintah Kolonial Belanda sampai akhirnya pada tanggal 29 Desember 1929 dilakukan penangkapan para pemimpin PNI karena dianggap menghasut, untuk menanamkan permusuhan dan pemberontakan terhadap pihak kolonial Belanda.

Pengadilan politik yang dilakukan penjajah Belanda terhadap Bung Karno dan teman-temannya, memunculkan pledoinya yang dikenal dengan nama “Indonesia Menggugat”, sebuah pidato pembelaan Soekarno yang menentang Imperialisme dan Kolonialisme yang dilakukan penjajah Belanda terhadap masyarakat kita selama berabad-abad. Sampai akhirnya ia dibebaskan pada tanggal 31 Desember 1931.

Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yang merupakan pecahan dari PNI. Soekarno kembali ditangkap pada bulan Agustus 1933 dan diasingkan ke Flores. Di sini, Soekarno hampir dilupakan oleh tokoh-tokoh nasional. Namun semangatnya tetap membara seperti tersirat dalam setiap suratnya kepada seorang Guru Persatuan Islam bernama Ahmad Hassan.Pada tahun 1938 hingga tahun 1942 Soekarno diasingkan ke Provinsi. Soekarno baru kembali bebas pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942. (Wikipedia)

Ajaran Bung Karno

Imperialisme Belanda telah “menyiksa” bangsa indonesia selama berabad-abad. Berbagai penindasan dan penganiayaan telah dirasakan, sampai di masa sekarang kita pun masih dijajah melalui sebuah Imperialisme modern dimana para penjajah itu berusaha mengeksploitasi sumber daya alam kita melalui berbagai macam cara. Sebuah eksploitasi yang dibingkai dengan “kedok” penanaman modal. Sampai kapan bangsa kita akan seperti ini? Apa kata para pendiri bangsa ini melihat bangsa yang telah mereka perjuangkan dengan keringat dan darah tetap menjadi bangsa terjajah?

Bung Karno telah mengenalkan kita pada sebuah semangat kebangsaan, suatu semangat untuk membangun negara, suatu semangat juang untuk membangun Indonesia. Itu lah yang harusnya kita pahami, kita pertahankan. Itu lah warisan bung Karno yang mesti kita bangkitkan kembali, semangatnya, idealismenya, cita-citanya.

Soekarno mengajarkan kita pada berbagai macam pemahamannya, salah satunya adalah Trisakti. Tidak salah apa yang diajarkan soekarno pada saat itu, jika melihat apa yang terjadi dengan bangsa kita sekarang yang tidak memiliki jati diri. Salah satu contohnya bisa kita lihat dengan apa yang ditayangkan oleh televisi. Jika kita melihat tayangan sinetron, apakah tercermin identitas bangsa kita, rasanya tidak. Ajaran Trisakti yang bung karno utarakan dimana bangsa kita harus memiliki identitas dan harus memilki kepribadian rasanya harus dibangun kembali, suatu konsekuensi bangsa yang tidak memiliki identitas, adalah selalu dipandang sebelah mata, selain berakibat ketergantungan.

Begitu pula dengan ajaran Marhaenisme, bung Karno menanamkan pemahaman suatu ekonomi kerakyatan atau Berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) untuk membangun perekonomian kita. Dimana kita sebagai bangsa yang kaya akan alam harus membangun ekonomi secara mandiri sehingga kita tidak menjadi bergantung kepada bangsa lain yang memanfaatkan hal tersebut untuk mengeruk sumber daya alam kita. Kita jangan sampai terjebak dalam lingkaran imperialisme ataupun kolonialisme gaya baru.

Ekonomi kerakyatan bertujuan untuk memakmurkan rakyat. Sehingga jangan sampai rakyat yang menjadi korban dan terpinggirkan di negaranya sendiri. Namun pada kenyataannya saat ini kita semakin tesudutkan oleh para penanam modal asing itu. Sebagai contoh perusahaan Freeport di Papua, dengan perusahaan berkelas internasional itu tidak membuat rakyat di sana semakin makmur tetapi semakin terpinggirkan. Fenomena kecemburuan sosial terjadi disana karena mereka sebagai penduduk setempat tidak diberdayakan.

Oleh karena itu, kita sebagai penerus bangsa harus mulai menyadari akan fenomena yang terjadi di negeri ini. Tanamkanlah idealisme kebangsaan sedini mungkin, karena dengan idealisme lah kita memiliki semangat untuk membangun bangsa. Idealisme untuk memakmurkan rakyat. Jangan sampai kita menjual bangsa ini kepada bangsa lain. Kenali bangsamu, karena dari sanalah kita bangkit...

Komplitnya buka aja.. ..