Senin, 26 Januari 2009

Bahaya Mengancam Bagunan Tua di Bandung


Perkembangan zaman adalah suatu hal yang tidak dapat dihindari, akan tetapi kehilangan identitas kota merupakan hal yang dapat dihindari. Semua warga Bandung tentunya tidak ingin kehilangan identitas kotanya, seperti bangunan-bangunan tua. Banyak bangunan tua di Bandung yang berserakan di pelosok kota, sayangnya sebagian tidak terurus. Sebagian bangunan-bangunan ini terancam hilang dengan makin rakusnya para pengusaha mencaplok tanah kosong ditambah lagi kekurangpedulian warga dan pemerintah kota dalam melindungi aset kotanya. Saat ini banyak bangunan tua yang sudah hilang dan berganti menjadi factory outlet (FO) atau mall.


Sudarsono Katam, seorang pencinta sejarah dan bangunan tua Bandung bertutur bahwa banyak keputusan pemerintah yang tidak berpihak pada pelestarian bangunan tua. Harastoeti juga berpendapat bahwa selama kepentingan pelestarian dibenturkan dengan kepentingan uang, maka kepentingan pelestarian akan kalah.
”Dulu di daerah Riau (Jl. R.E. Martadinata.) terdapat sebuah bangunan yang merupakan Taman kanak-Kanak pertama di Bandung. Sekarang sudah tidak ada, ganti menjadi FO,” ujar Katam.
Dadan Nugraha, Sekretaris Bandung Heritage mengatakan bahwa sangat disayangkan banyak bangunan bersejarah yang sudah hilang. “Seperti Gedung Singer di Simpang Lima, lalu di Braga juga ada bangunan bekas bengkel Mercy pertama di Indonesia yang sekarang sudah tidak ada, berubah menjadi Braga City Walk.”
Ditambahkan Dadan, “Semua bangunan yang sudah tidak ada sangat disayangkan oleh kami, padahal itu memiliki nilai sejarah penting. Bangunan Vila Ciumbuleuit misalnya, dahulu merupakan tempat menginap sebagian dari delegasi KAA.”
Dadan mengatakan bahwa kesadaran pemerintah kota terhadap pelestarian bangunan tua sudah ada, tapi belum merata. ”Pemerintah sebenarnya sadar akan pentingnya pelestarian bangunan tua, akan tetapi tidak semua. Ditambah lagi penegakan hukum, yang kita semua sudah tahu kaya gimana, “ urai Dadan.
Pelestarian bangunan tua sepertinya selalu bertentangan dengan kepentingan ekonomi. Sulit sekali mencari titik temu diantara keduanya. Katam melihat masalah ini akibat tidak adanya saling pengertian diantara para pecinta bangunan tua, pengusaha, dan pemerintah. Pengusaha hanya memikirkan aspek ekonomi, sedangkan pecinta bangunan tua berpikiran bahwa bangunan-bangunan itu harus dilestarikan dan dirawat, pihak pemerintah berpikiran bahwa selama izin lengkap semua bisa berjalan.
Lain lagi pendapat Harastoeti, ia mengatakan bahwa selama ini pemerintah tidak pernah mengatur Kota Bandung. Pemerintah hanya mengejar PAD, sehingga mengizinkan pendirian mal, kafe, dan toko dimana saja.
“Tidak ada tempat khusus untuk bangunan perumahan mewah, bangunan perumahan menengah, dan sebagainya. Semua wilayah campuran yang bisa dibangun apa saja. Jadi kalau tidak pernah diatur, apa yang dilanggar?” urai Toeti.
Peraturan yang ada pun dianggap belum efektif akibat adanya perbenturan kepentingan dari masing-masing pihak dan penegakan hukum yang tidak tegas. Padahal, pemerintah telah membuat UU no. 5 tahun 1992 tentang benda cagar budaya.
Banyak hal yang membuat undang-undang itu hanya menjadi macan kertas. Undang-undang ini menyebutkan bahwa semua orang yang memiliki bangunan cagar budaya agar melaporkan kepada pemerintah. Sayangnya, pemerintah tidak menyediakan lembaga khusus untuk mencatat benda-benda cagar budaya tersebut.
“Orang-orang yang mau melaporkan benda yang dimilikinya jadi bingung. Harusnya pemerintah membuat badan khusus untuk pencatatan itu,” jelas Dadan.
Selain hal tersebut, tidak adanya perda khusus di Bandung yang mengatur masalah pelestarian bangunan tua, dituding sebagai salah satu sebab tidak efektifnya UU no. 5 tahun 1992 tentang benda cagar budaya.
Sudarsono Katam berpendapat bahwa pemerintah harusnya memberikan insentif khusus bagi mereka yang memiliki bangunan tua. “Untuk kondisi sekarang, merawat rumah berapa biayanya? Mahal.”
Sebagai gambaran, kita bisa simak pengakuan Tatang Sutarsa (55), pemilik rumah di Jl.Terate no.1. Menurut dia untuk mengecat sebuah jendela dibutuhkan cat sebanyak satu kilogram.
Toeti mengatakan bahwa pemberian bantuan tidak harus melalui pemerintah, tapi swasta juga bisa diajak. Misalnya pemerintah menggandeng perusahaan cat untuk membantu dalam pemberian cat gratis kepada pemilik rumah tua.
“Cat tersebut nantinya bisa digunakan untuk mengecat dinding rumah agar tidak terlihat kusam,” usul Toeti.
Melihat kondisi tersebut, maka tidak heran banyak orang yang membiarkan bangunan tua yang mereka miliki lapuk termakan usia dan rubuh. Hal ini lebih memudahkan mereka untuk membangun bangunan baru yang lebih menguntungkan atau menjual tanahnya.
Bagi sebagian besar masyarakat, merawat bangunan tua hanya membuang-buang uang. Mereka tidak melihat itu sebagai suatu yang menguntungkan, karena tidak adanya bantuan dari pemerintah untuk merawatnya.
Ndang Ramdan (77), pemilik rumah di Jl. Gatot Soebroto Pav.54, bercerita bahwa tidak pernah ada pihak pemerintah yang datang untuk mendata dan membantu perawatan.
Melihat kenyataan tersebut, masyarakat peduli bangunan tua, melalui Bandung Heritage, mengusulkan pembuatan perda tentang pelestarian bangunan tua ke pemerintah kota. Usul ini disambut oleh pihak pemerintah kota, dalam hal ini Dinas Pariwisata.
Mulai tahun 2006 ini pihak Dinas Pariwisata dan Bandung Heritage tengah menggodok peraturan daerah yang akan melindungi bangunan tua yang ada. Iyan Suryana, Kepala Seksi Kerjasama Pengembangan Seni Budaya Dinas Pariwisata Bandung, menjelaskan bahwa selama ini mereka terkendala masalah dana dalam pembuatan perda tentang pelestarian bangunan tua.
Menurut pria berusia 41 tahun ini, selama ini pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa jika terjadi kasus mengenai bangunan tua, karena tidak ada aturannya.
“Termasuk mereka yang menjual bangunannya, merubah bentuknya, dan merubuhkan untuk dijadikan usaha. Itu hak mereka, karena mereka sebagai pemilik. Diharapkan adanya perda akan membuat suatu batas jelas tentang bangunan yang termasuk benda cagar budaya,” jelas Iyan. Ditambahkan olehnya bahwa jika sudah ada batas yang jelas, pemerintah bisa bertindak tegas.
Dirinya juga mengakui bahwa pihak Dinas Pariwisata tidak pernah diminta rekomendasinya jika ada permohonan izin ke pemerintah kota. Ia tidak tahu menahu masalah perizinan.
“Kalau perizinan, biasanya Bandung Heritage yang dimintai rekomendasinya, kami tidak pernah dimintai rekomendasi,” urai Iyan.
Sudarsono Katam melihat bahwa pemerintah, pelaku ekonomi, dan pencinta bangunan tua perlu duduk bersama dalam satu meja untuk menyamakan persepsi.
“Selama ini mereka cenderung jalan sendiri-sendiri dan keukeuh dengan kepentingan masing-masing,” demikian Katam.
Katam juga menjelaskan bahwa aturan yang ada tentang bangunan tua mengandung beberapa kelemahan, seperti tentang bangunan yang dibiarkan rubuh sendiri, “Seandainya ada bangunan rubuh karena dibiarkan, kita bisa berbuat apa? Tidak mungkin bangunan itu berdiri lagi.”
Dadan Nugraha percaya bahwa suatu bangunan tua perlu dilestarikan karena itu merupakan identitas Kota Bandung dan merupakan kebanggaan warga Kota Bandung.
“Sekarang coba bayangkan seandainya Gedung Sate, Gedung Merdeka, atau Villa Isola dibongkar. Bandung tidak punya identitas lagi. Bangunan-bangunan tersebut hanya terdapat di Bandung, nantinya anak cucu kita hanya bisa menikmati keindahannya lewat foto dan cerita,” urai Dadan.
Harastoeti juga menyatakan bahwa pernah ada peneliti arsitektur dari luar yang mengatakan bahwa Bandung bisa disebut sebagai laboratorium arsitektur. Menurut Toeti, hal ini dikarenakan banyaknya bangunan dengan gaya arsitektur yang cukup unik. Gaya arsitektur yang unik ini bukan hanya dari satu gaya saja, tapi juga dari bermacam gaya. Ada art deco, ada empire style.
Senada dengan Dadan, Toeti juga mengatakan bahwa pelestarian bangunan tua merupakan hal yag penting. Hal ini merupakan sebuah upaya untuk mempertahankan identitas kota. Selain mempertahankan identitas kota, Toeti menambahkan bahwa pelestarian bangunan juga mencakup pelestarian lingkungan disekitar bangunan. Dengan demikian, melestarikan bangunan tua juga berarti melestarikan lingkungan sekitar.
Sangat disayangkan jika suatu hari nanti Bandung kehilangan bangunan-bangunan tuanya. Apalagi pada tahun 2001 Bandung ditempatkan oleh Majalah Asiaweek pada posisi 26 dari 40 Asia’s Best Cities serta posisi 9 dari 10 World’s Great Cities of Art Deco.

8 komentar:

*fallenstar mengatakan...

menurut momon, sbenernya pelestarian bandung ini bergantung dari pandangan penduduk bandung sendiri, baik asli maupun pendatang. kalau misalnya kita bisa merubah cara berpikir masyarakat dari warisan lapuk ke museum unik, dibantu sama project2 tourism and culture, momon rasa kita makin memperkaya bandung.. ya ga?? heheh

stuju! save bandung!!!!!!

Adventurous mengatakan...

save story of bandung

Adventurous mengatakan...

Lestarikan Budaya Dengan Teknologi..

"NOW or NO"

irfanchelsea mengatakan...

benar sekali...saya harap bangunan tua yang ad harus selalu di perhatikan..agar tetap terjaga dan tidak gampang rusak...kalau bangunan tua dapat di kembangkan dengan unsur modern agar lebih brmkna...daripada hanya menjadi barang rongsokan

Miranda Margareth Cecilia mengatakan...

modernisasi emng perlu tapi ga brti meninggalkan identitas kita. bangunan2 itu bisa aja dirubah dengan cara diperbaharui, tapi bukan brti diganti struktur totalnya

chrsmf mengatakan...

agak panjang yaa..

bang sukab mengatakan...

bandung ga kehilangan identitas meski bangunan tua nya telah berganti fungsi. identitas kota bandung kan facory outlet ama distro.

Anonim mengatakan...

Memang bener, pelestarian harus sejalan dengan aspek ekonominya juga. Itu akan lebih baik, karena selain akan otomatis terawat, bangunan juga akan memiliki nilai lain selain historisnya saja. Karena bagaimanapun, Bandung kita ini sudah berubah. Orang2nya juga berubah. Ini dinamika, siapa dapat pungkiri?

Dengan catatan, pemerintah mebuat regulasi yang baik, sehingga ada batasan-batasan yang jelas baik itu bagi pemilik maupun masyarakat yang jadi penikmat/penggunanya.

Satu contoh, bangunan De' Lokomotiven (maaf kalau salah eja) yang dipake salah satu FO di Dago, itu tidak kehilangan identitas aslinya. Hanya fungsinya yang berubah. Dan terawat. Masyarakat yang tidak hirau jadi tau kalau itu bagunan bersejarah, bukan karena tertarik dengan gedung tua, tapi mungkin hanya karena berbelanja di sana.
Berbeda dengan Gedung yang ada di sebelah Barat Savoy (saya lupa namanya), malah tidak terawat karena dibiarkan begitu saja.